code-code-an sIFR in Blogger Template Free Blogger Template Free Blogger Template Free Blogger Template Free Blogger Template Free Blogger Template

post:

Sabtu, 23 Januari 2010

Anjing

Karya:Mohamad Sobary


Jangan khianati anjing sekalipun
Kalau cuma demi sekeping sorga
(Spiritualis Puntadewa)

Chamid,lengkapnya Abdul Chamid-sahabat saya di Yayasan Indonesia Sejahtera-pernah dilanda duka karena Bruno,anjingnya,mati.Persahabatan dengan anjingnya begitu dalam,dan bagai tak tergantikan.Dibanding anjingnya,saya kira saya bukan apa-apa.

Di antara teman-teman YIS,di Badran,Solo,yang menaruh empati mendalam atas duka Chamid,cuma Merry Johnston,almarhum.Teman-teman lain,umumnya bahkan menggoda,wong hanya kematian anjing saja “kok sajak le tenan-tenano”,seperti begitu seriusnya.
Dan Chamid,yang lembut itu,diam-diam tersinggung,dan ia membawa luka hati itu pada saya,di Jakarta.
“Kamu jangan ikut-ikutan mereka,yang meremehkan arti persahabatanku dengan Bruno,semata cuma karena ia seekor anjing.Kamu tahu sehampa apa rasanya akibat kehilangan itu?”
“Aku kira aku tahu,Mid.”
“Aku tak suka orang-orang biadab,tak tahu perikebinatangan,”keluhnya.Dan sesudah itu ia diam-dan lama sekali-seolah saya tak ada disana.
Waktu menjawab”aku mengerti” tadi,terus terang saya mencoba menunjukkan saling pengertian.Saya tak pernah memelihara anjing,dan tak bisa menghayati makna persahabatan itu.Tapi ketika ia mengucapkan kata biadab tadi,pelan-pelan saya mengerti beratnya sebuah kehilangan.
--------------------
Pada akhir perang Bharata yang mengenaskan,Pandawa yang menang akhirnya.Menuju sorga loka secara badani.Tapi dari lima bersaudara,dan permaisuri Drupadi,Cuma tinggal Puntadewa dan anjingnya yang tahan menggapai depan pintu gerbang sorga.Dewa Narada menyambutnya dengan ramah,tapi melarang Puntadewa masuk dengan anjingnya.
“Ini sorgamu,sorganya manusia.Anjing,anakku,dilarang masuk.”
“Kalau begitu lebih baik aku tak memperoleh sorga.”
‘Kau harus,Nak.Ini takdirmu,”kata Narada
“Tapi aku tak bisa membiarkannya menunggu di luar,sambil menderita haus dan lapar saat aku bermewah diri di sorgaku.”
“Dia cuma anjing.Lupakan saja.”
“Aku tak bisa mengkhianatinya hanya demi sekeping sorga loka.”

Mendadak sontak anjing itu lenyap dalam kerdipan mata Puntadewa,dan di sana,hadir dewa Dharma.Tanpa salam pendahuluan apa pun ia langsung memeluk Puntadewa.
Pelukan tanpa kata-kata itu tanda pernyataan bahwa Puntadewa lulus ujian kesetiaan tingkat akhir.Kesetiaan perlu diuji,dan dibuktikan ulang.Di sana ada pesan simbolik:”Jangan khianati anjing sekalipun,semata demi sekeping sorga yang dijanjikan.”
Ringkasnya ,Puntadewa pun kemudian melangkah masuk ke taman sorga loka,dan masya Allah,di sana ke empat saudaranya,dan sang permaisuri Drupadi,ternyata sudah menantinya.
Puntadewa membikin para dewa sendiri malu atas kesetiaannya.Mereka pun cemburu.Rupanya benar,Puntadewa,tak ada sorga yang gratis.
----------------

Bila kita menyebut anjing,diikuti kucing,kuda,beruk,merpati,kura-kura,siput,dan cumi-cumi,kita tahu,barangkali kita sedang membahas ilmu hewan.Kita pun tahu,anjing di sini kita posisikan netral,senetral kehidupan anjing itu sendiri di tengah hewan-hewan lain.
Namun,anjing bisa menjadi umpatan,bahkan umpatan kasar.Ia tanda kemarahan.Anjing kita lahirkan sebagai konsep yang sarat nilai,kita beri beban,dan muatan-muatan.
Dalam bahasa Jawa anjing itu asu.Tapi apakah asu tanda kemarahan,atau bukan,bahkan menjadi pujian,tergantung bagaimana roman muka orang yang mengucapkannya,dan bagaimana tekanan suaranya.
Dikalangan sesama sahabat,asu bisa menjadi pujian.Misalnya”wah ,asu tenan” bisa menjadi pujian pada bagusnya semesan lawan kita dalam main tennis.
Orang jawa bisa dengan tandas memaki orang lain asu,anjing,tanpa menyebut nama itu sebab kemarahan orang jawa sering tak terpancar di wajahnya.Ucapan “njegog sak penake dewe”(menggonggong seenaknya sendiri),meskipun tak secuil pun tanda kemarahan di wajahnya,ia tetap menyebut orang lain asu,suatu penghinaan yang dalam,dan serius.Biasanya ini kemarahan para priyayi.
Anjing,seperti halnya kucing,atau siput,juga ciptaan Tuhan:ciptaan tak berdosa.Ia menjadi anjing bukan karena maunya anjing itu sendiri.Ia Cuma taat,dan patuh memenuhi kodrat alamnya,karena diam-diam ia pun memanggul dharma hidup khusus,yang tak dapat dibebankan pada hewan lain.Ia punya fungsi di jagat raya ini.
Kabarnya ada orang yang bahkan lebih sayang kepada anjingnya daripada terhadap anaknya sendiri.Ini tentu hanya gurau,atau hanya terjadi pada orang yang mungkin teralienasi dalam hidup,dan kehilangan kepercayaan atas kebaikan sesama manusia.Ini mungkin sebuah pelarian akibat suatu jenis luka sosial tertentu.

Belajar dari Chamid dan Puntadewa,saya berhati-hati pada anjing.Belum pernah saya membencinya,tapi juga tidak memujanya.Saya tahu anjing makhluk yang paling setia.Tapi saya tahu dalam kepepet dia menggigit.

Dimana-mana,disekitar kita,ada anjing.Ada yang netral,ada yang menjilat,ada yang menggigit.Tapi-ini rahasianya-segalak-galaknya anjing,ia takut orang jongkok.Sekeras apapun anjing “njegog”,kalau kita jongkok,apalagi menggemgam batu,ia pasti “njegog” sambil sebentar-sebentar mundur.Dan lari.Maka,sekali lagi,saya tak membenci,meskipun juga tak memuja,anjing.

Selasa, 19 Januari 2010

Thiwulisasi di Irian Jaya

Kita bisa lega bahwa kita punya nyanyian yang mengatakan Indonesia kaya dan makmur. Bagi orang kampung saya, makna "kaya" dan "makmur" lagu itu bersifat ideologis. Mungkin malah berupa mitos. Ia tak bersentuhan dengan realitas, karena bagaimana bisa disebut makmur bila gaplek saja mahal harganya ?

Siapa bilang Bapak dari Blitar ?
Bapak kita dari JawaTimur
Siapabilang rakyat kitalapar
lndonesia kaya dan makmur

Bila orang, menyanyikan sendirian lagu ini, serempak, secara beramai-ramai, orang lain kemudian "nyenggaki"--menyela--dengan bait lanjutannya.

"Marilah kita bergembira, bergembira semua..." dan seterusnya, buat menggambarkan bahwa kita sebagai bangsa tak sedang bersedih. Sebaliknya, kita tampak gembira, optimis, dan hidup semarak. Kita bisa membabat semua jenis halangan yang menghambat jalannya revolusi saat itu.

Kenangan masa kecil mengingatkan, lagu ini populer di kampung saya di musim kemarau panjang. Waktu itu kira-kira sekitar tahun enam tiga, mungkin awal enam lima. Pokoknya sebelum tragedi nasional G30S PKI itu.

Di musim kemarau panjang itu panen kacang tanah terjadi. Dan di sawah, ketika panenan itu, berita-berita politik beredar di antara orang kampung. Kata seseorang, dan ia cuma mendengar dari orang lain, dan orang lain itu pun mendengar dari orang lain lagi, bahwa kami, orang kampung, memang sengaja dibikin lapar.

Gaplek, bahan pangan utama yang menjadi thiwul itu, kabarnya diangkut dengan kapal laut. Dalam jumlah berton-ton banyaknya, tiap saat, bahan pangan itu ditenggelamkan begitu saja. Katanya, ini sabotase.

Rakyat lapar itu hanya merupakan tujuan antara. Tujuan akhirnya agar negara menjadi lemah. Dan setelah negara lemah, kaum nekolim---neo kolonis---dengan mudah datang kembali menjajah kita.

"Maka, wahai rakyat Indonesia, waspadalah,"begitu pesan politik Bung Karno, PBR kita, waktu itu. Itu pun cuma katanya. Kita terus menerus diminta waspada. Dan seingat saya, waspada itu malah membikin kami, orang kampung, takut.

Atau cemas. Lebih-lebih karena persoalan tak begitu jelas: musuh kita itu apa, atau siapa? Kaum nekolim itukah, atau perut kita sendiri yang lapar, karena gaplek--sekali lagi katanya--ditenggelamkan ke laut?

Saya kira musuh kita waktu itu dua-duanya: ya kaum nekolim, ya perut lapar. Kaum nekolim itu maksudnya Ingggris dan Amerika. Dan ketika konfrontasi dengan Malaysia berlangsung, Bung Karno mengumandangkan semangat perang: Amerika kita setrika, Inggris kita linggis. Seolah melawan mereka cuma semudah memijat buah tomat.

Abdul Rahman Saleh, PM Malaysia pun tak usah ditakuti. Dia itu cuma boneka Inggris. Malaysia pun cuma sebuah negara boneka.

Mungkin benar kita saat itu hidup dalam "The Years of Living Dangerously". Pangan buat rakyat sudah susah. Masih harus menghadapi situasi perang. Banyak anak kampung putus sekolah.

Orang bilang, paceklik itu membuat hama tikus merajalela. Binatang-binatang itu kabarnya prajurit Nyai Roro Kidul. Dan berita ini lebih menakutkan lagi.

Tapi meskipun lapar itu urusan perut, dan keberanian--terhadap kaum nekolim--urusan perasaan, di desa pun anehnya ada sedikit kelegaan. Lega, karena kita tak boleh lemah demi menghadapi kaum nekolim tadi. Dan lega, bahwa kita punya nyanyian yang mengatakan Indonesia kaya dan makmur.

Memang benar, bagi orang kampung saya makna "kaya" dan "makmur" dan lagu itu lebih bersifat ideologis. Mungkin malah berupa mitos. Ia tak bersentuhan dengan realitas, karena bagaimana mau disebut makmur, bila gaplek saja mahal?

Tragisnya, dengan perut lapar kita menyanyi: siapa bilang kita lapar?

Kita melakukan sejenis "self denial" secara beramai-ramai. Kita terbius slogan politik.

***

IRIAN Jaya punya hutan-hutan lebat, dan hutan-hutan itu kaya umbia-umbian. Juga sagu.

Tapi mengapa rakyat di sana tertimpa bencana kelaparan? Tak ada lagikah kearifan tradisional buat mengelola hidup, dan menjaga hubungan baik dengan hutan, yang sudah mereka miliki sejak beribu-ribu tahun?

Hutan yang sudah merupakan sahabat, mengapa tiba-tiba melakukan penghianatan, dan tak memenuhi janjinya memberi makan segenap warga yang hidup di sekitarnya? Apakah mereka sudah bosan dieksploitir terus-menerus? Apakah hutan melakukan protes sendiri secara langsung terhadap orang-orang yang membiarkan terjadinya kebakaran di tempat-tempat lain?

Kita tidak tahu persis apa yang sedang terjadi di sana. Tapi kita tahu, di sana ada rakyat kelaparan. Kita dibuat repot. Nilai rupiah sedang anjlok tajam sampai ke titik rendah, malah ada yang kelaparan.

Kelaparan bukan perkara yang dibuat-buat. Keadaan itu bersifat darurat, dan tak bisa menunggu. Bantuan harus segera dikirim. Kalau tidak, kita digugat oleh rasa keadilan kita sendiri.

Tapi mengapa di dalam kota, ada orang-orang yang berpesta pora dengan dana Jamsostek? Mengapa dana miliaran dari rakyat lenyap secara misterius, padahal ada sebagian rakyat bergulat melawan maut karena kelaparan? Haruskah ini disebut juga malapetaka?

Dan mengapa pula, dalam situasi resah begini, ibu-ibu pejabat malah pamer kemewahan liburan ke luar negeri sambil berbelanja dan berobat? Mengapa mereka tak peduli persoalan sensitif tengah melilit hidup kita? Di mana letak Dharma mereka?

Rasa keadilan kita memang dilukai. Tapi segala puji bagi Allah. Kita masih merasa gembira, karena sedikitnya sekarang tak beredar isu bahwa gaplek kita diangkut dan ditenggelamkan ke laut.

Syukurlah kita masih bisa mencoba mengulurkan tangan kepada saudara-saudara kita yang kelaparan di Irian jaya dengan bahan pangan itu. Bila biasanya mereka makan sagu, atau umbi-umbian, kita kirim mereka gaplek agar kini ganti makan thiwul. Semoga program thiwulisasi menyelamatkan mereka.

Tapi omong-omong, perkara "food habit" ini bukan barang mudah diubah. "Food habit" merupakan tradisi yang lama melembaga, berurat dan berakar dalam individu dan masyarakat.

Di luar negeri kita repot belajar makan roti. Dan jangan-jangan, orang-orang yang biasanya makan sagu dan umbi-umbian, tak mudah pula makan thiwul?

Kalau itu benar, bagaimana program thiwulisasi?

Sumber : Tempo 13 Desember 1997

Kurungan

Kurungan bisa penting,bias juga tidak.Tergantung siapa yang melihat. Buat saya pribadi, isi kurungan lebih penting dari pada kurungannya.

Pak Penewu (sekarang camat) di desa saya dulu punya seekor perkutut yang hebat. Kabarnya, orang dari kota (maksudnya Yogya) ingin menukarnya dengan sebuah sedan baru. Ini burungnya.

Kurungannya, kata Kang Brahim, lebih mahal daripada rumah Kang Brahim sendiri, yang memang kecil itu. Maklumlah, namanya juga burungnya Pak Penewu. Dalam hal ini kurungan itu fungsional dan karena itu memang penting. Akan ganjil benar bila burung semahal itu dikurung dengan kurungan yang sudah reot dan bolong.

Farriduddin Attar memandang bahwa dunia ini sebuah peti. Saya lebih suka menyebutnya kurungan. Attar menganggap bahwa dalam hidup orang sibuk membuat peti-peti, sedangkan saya melihat orang sibuk mengumpulkan aneka kurungan.

Kantor kita, asal-usul keluarga kita, agama kita, kesukuan kita, titel kesarjanaan kita, partai kita, organisasi profesi kita, bahkan istri, suami, mertua, paman, pakde,
pakdenya pakde, semuanya merupakan kurungan. Nama kita pun sebuah kurungan.

Seperti dalam kasus perkutut Pak Penewu, antara orang dan namanya harus ada keserasian juga. Kalau tidak, bias menimbulkan gangguan dan sejumlah persoalan. Pernah seorang petani kampung menamakan anak laki-lakinya Partaningrat. Dan
adik si Ningrat, Diah Astuti. Ketika Partaningrat sakit-sakitan, mbah dukun membuat diagnosa bahwa dia keberatan nama. Kalau tak diganti, kata mbah dukun, bias gawat. Andaikata orangtuanya pergi ke dokter, bukan ke mbah dukun, persoalannya tentu akan lain.

Tapi sudahlah. Partaningrat diganti Bibit, dengan kelengkapan upacara kecil, ditandai jenang putih jenang abang (merah). Dan Diah Astuti diganti menjadi Kawit.
Kontras pergantian itu, tapi apa boleh buat; karena keserasian, dalam dunia pemikiran Jawa, merupakan sesuatu yang penting. Bibit lalu tumbuh makin sehat. Dan Kawit, setelah bersuami, langsung beranak pinak.

Pemuda kita berebut masuk KNPI. Sebagai kurungan, KNPI menjadi saluran karier politik yang baik. Bagi yang tak punya naluri politik, sekurangnya KNPI memberinya identitas tambahan.

Para sejarawan membuat organisasi "Masyarakat Sejarah" (MS). Karena ada sejarawan yang juga sarjana hukum, selain masuk MS ia juga masuk "Ikatan Sarjana Hukum" (ISH). Ketika MS mendirikan lembaga penelitian, ia memegang jabatan penting. Dan setelah ISH mendirikan lembaga bantuan hukum, ia juga menjadi salah seorang pengurus. Ini semua adalah status tambahan belaka, sebab tugas utamanya menjadi dosen di sebuah perguruan tinggi swasta. Dia sadar bahwa tak mungkin baginya memenuhi semua tugasnya dengan baik. Tetapi dalam hati kecilnya ia memerlukan semua itu untuk memberi kesan
pada khalayak, betapa penting dia, betapa besar kepeduliannya dalam mengembangan ilmu dan pengabdian masyarakat.

Jadi, kurungan-kurungan tadi pada dasarnya hanya diperlukan sebagai identitas tambahan.

Fungsi kurungan sebagai identitas menjadi penting buat orang yang "gila" atau "krisis" identitas. Dalam seminar HIPIIS di Yogya bulan Juli tahun lalu, saya berkenalan dengan seorang profesor. Belum pernah saya baca karya orang itu. Namanya pun belum pernah saya dengar sebelumnya. Tapi dalam kartu namanya tercantum banyak identitas: bidang keahlian A, jabatannya di universitas B, sekretaris organisasi profesi C, dan anggota ikatan internasional sarjana "anu". Ini jenis sarjana yang melihat kurungan sebagai sesuatu yang amat penting.

Namun, banyak juga orang yang tidak kurungan oriented. Mereka risi dengan berbagai kurungan. Gelar kesarjanaannya tak usah selalu dipakai. Safari dan segala lambang kuning emas di dada perlu sesekali ditanggalkan. Dan dalam pergaulan sehari-hari tak perlu menonjolkan secara verbal puritansi keagamaannya. Bagi yang Islam tak perlu memamerkan keislamannya, dan yang Kristen tak perlu memamerkan kekristenannya. Semua itu pada dasarnya cuma kurungan.

Dengan kata lain, kurungan macam itu cuma membikin sumpek. Kurungan ya kurungan. Artinya, ia cuma lapis luar dari diri kita. Ia sama sekali tidak penting. Orang macam Emha Ainun Nadjib, pinandita yang terbiasa bebas di bawah langit dengan selimut mega-mega, mungkin sudah sumpek hidup dalam banyak kurungan: dramawan, budayawan, penyair, kolumnis, cendekiawan muda Islam, dan siapa tahu bakal ada yang
menambahkan predikat konglomerat.

Buat saya, tak terasa aneh mendengar ia ketika itu menolak diberi kurungan baru yang hebat: Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI). Kalau dia masuk ke sana, dan kawula macam saya ini juga masuk, secara moril maupun materiil Emha rugi. Tanpa dikurung dalam ICMI ia sudah lama dijuluki cendekiawan Islam (Muslim). Tanpa kurungan resmi seperti itu ia sudah "menjadi". Sementara itu, banyak orang lain mencari
kurungan dengan harapan "ingin menjadi". Pernah ia memberi fatwa pada saya, yang harus kita cari esensi, bukan eksistensi.

Alasan resmi penolakannya untuk "join" di ICMI menarik. "Saya tidak mampu memanggul tugas mulia itu."

Dalam hati, saya bertanya: Siapa yang menyuruhnya memanggul sesuatu? Dalam tradisi kita, sebuah status tak selalu menuntut peranan. Dan achievement, umumnya, belum menjadi keadrengan banyak pihak. Jadi kalau ia masuk ke sana untuk kemudian duduk dan diam, sebetulnya orang toh tak akan banyak dituntut. Soalnya, ya tadi itu, bahwa kurungan, bagi banyak pihak, lebih penting daripada isinya.

Sumber : Media Isnet atau Koran Tempo 20 april 1991

Indonesiaku

Aku berharap Indonesiaku juga Indonesiamu. Memang belum sangat jelas apakah Indonesiaku sama dengan Indonesia yang diteriakkan penyair Taufiq Ismail di dalam puisinya "Kembalikan Indonesia Kepadaku". Juga belum jelas apakah Indonesiaku sama dengan Indonesia yang dimaksud Bung Karno dalam "Indonesia Menggugat".
Banyak hal, ternyata, yang belum cukup jelas di dalamnya. Indonesiaku hasil sebuah dialog dan negosiasi politik yang lama, melelahkan, dan menyita kesabaran, dan membutuhkan toleransi terhadap semua kemungkinan aspirasi yang bermunculan dari sana sini. Tiap aspirasi harus diakomodasi dengan baik di dalam dan oleh semangat multikulturalisme yang tak henti-hentinya kita bangun.
Indonesiaku bukan hanya milikku, melainkan juga Indonesiamu, milikmu. Indonesiaku pelan-pelan kita dirikan di atas impian-impian dan aspirasi kultural yang sangat beragam, penuh variasi, penuh nuansa, dan membuat kita kaya, bagaikan taman bunga yang semarak dan harum dalam benak dan alam ideal kita.
Indonesiaku, pendeknya bukan sebutir kelereng, yang padat dan jelas sosoknya. Dengan akal pikiran aku bisa membayangkan bagaimana kira-kira rumusan politiknya. Tapi, aku belum bisa merasakannya dengan hati dan jiwaku karena rumusan-rumusan akal boleh jadi hanya bersifat teknis politis, dan itu pun di dalamnya bukan mustahil ada unsur "akal-akalan".
Selebihnya, konsensus politik sering tidak tulus mengabdi kepentingan bersama. Dalam tradisi kenegaraan kita, yang masih muda usianya, politik sering hanya berarti "tipu muslihat" untuk meraih kemenangan jangka pendek, dan tak peduli akan pentingnya membangun keadilan semesta alam bagi segenap warga negara dan manusia-manusia yang hidup di dalamnya.
Kerja politik sering agak sedikit dungu karena merasa sudah puas melihat "hasil" berupa terciptanya sosok besar sebuah "struktur" yang bagus wujudnya, tapi kering dan kosong, tanpa jiwa. Padahal, yang kita rindukan, dan hendak kita wujudkan, ialah "jiwa" ke-Indonesia-an, untuk memberi makna lebih riil pengertian "adil dan beradab" bagi semua kalangan. Juga, dan terutama, bagi mereka yang selama ini tertindas sepatu tentara, polisi, birokrat, pedagang, dan para politisi keparat yang telah menggadaikan jiwa mereka kepada semua setan yang membunuh kemanusiaan.
Indonesiaku hasil sebuah kerja kreatif, hasil imajinasi tentang apa yang luhur dan mulia, dalam ukuranku dan ukuran-ukuranmu semua, yang bukan hanya berbeda, melainkan juga berkebalikan satu sama lain. Tapi, tak berarti aku boleh, dengan barisan massa milikku, mengusirmu pergi dari bumi milik Tuhan ini.
Kau pun tak akan bisa mengusirku dari tiap jengkal tanah di mana aku berpijak, karena di mana pun aku berada, aku tak menjejak di atas tanah warisan Engkong dan Kakek moyangmu, melainkan di atas bumi milik Tuhan kita, yang ramah dan serba akomodatif terhadap semua makhluk-Nya. Adaku di bumi ini merupakan wujud "Titah-Nya", "Kehendak-Nya" dan "Tanggung Jawab-Nya".
Jadi, bagaimana mungkin di antara kita, sama-sama umat beragama, sama-sama makhluk beriman, bahkan satu agama dan satu iman, tapi hendak singkang-menyingkang dan usir-mengusir? Bukankah dialog dan negosiasi kita tentang Indonesiaku, dan Indonesiamu, belum lagi selesai?
Aku tidak tahu adakah generasi demi generasi di atas kita sudah gagal merumuskan ke-Indonesia-an yang teduh, enak, dan membawa rasa nyaman bagi kita semua? Aku hanya tahu mereka sudah berusaha dengan segenap cinta, tanggung jawab dan kesediaan berkorban. Dan, generasi kita, yang mungkin lembek dan kurang wawasan, akan bersedia gagal mewujudkan Indonesiaku, dan Indonesiamu, yang kita inginkan bersama, dan kita lalu memilih baku bunuh seperti binatang di rimba raya?
Indonesiaku memang bukan sorgaloka, dan seharusnya juga bukan rimba raya. Maka, siapa bilang ia tak mungkin diubah menjadi sejenis sorgaloka yang bersedia memberi tempat bagi kita semua untuk bisa merasa aman dan nyaman di dalamnya.
Indonesiaku, sekeping negeri yang diciptakan Tuhan dengan kasih sayang dan tanggung jawab. Dengan kasih sayang dan tanggung jawab-Nya, diciptakan kita dalam corak yang berbeda warna kulit, etnisitas, tradisi, dan bahasanya, cara pandang dan sikap-sikapnya terhadap hidup. Dan, Tuhan memelihara semua jenis perbedaan itu.
Lalu apa hak kita, yang bukan nabi, bukan wali, dan bukan orang suci, untuk bersikap seolah kita nabi dan orang suci, atau wali, hingga di mata kita perbedaan menjadi musuh dan barang terkutuk serta harus dimusnahkan dari muka bumi? Siapa yang memberi kita hak, bersikap seolah kita Tuhan?
Kita tahu urusan "halal-haram" dengan baik, tapi mengapa yang "haram" hanya mereka, sedang bagi kita segala kebejatan yang paling haram kita bungkus dengan jubah putih agar tampak seperti halal? Adakah kau kira Tuhan terpesona melihat kelicikan seperti itu?
Politik memang bisa, dan selalu, menipu. Orang banyak, yang lemah status sosial-politiknya, mudah pula ditipu. Dan, kita puas melakukan penipuan demi penipuan selama Indonesiaku berdiri. Tapi, mengapa Tuhan pun kita tipu?
Di mana nafsu muthmainah, kecenderungan mulia, dan agung dalam hidup kita? Mengapa kebudayaan tak memberinya tempat? Mengapa politik membunuhnya?
Apa yang terbayang dalam benakmu ketika kita bicara Ketuhanan Yang Maha Esa? Kita mempreteli Ketuhanan, yang universal dan agung, menjadi kecil-kecil sesuai konsep Katolik, Protestan, Hindu, Buddha, Kong Hu Cu, Kejawen, Sunda Wiwitan, Islam dan mengklaim yang lain salah, dan hanya tafsir kita yang benar. Kemudian, yang dianggap salah harus dibikin mati.
Adakah arti Ketuhanan di situ? Jangan nodai Indonesiaku karena ia juga Indonesiamu. Indonesiaku ini, aku tahu, Indonesia kita semua.

Sumber : Kompas, Minggu 14 Mei 2006